Kamis, 10 Maret 2011

data sibolga part 1

Kisah Putri Runduk ada berbagai versi. Ada yang menyebut dia Panglima tentara laut, keturunan kerajaan Syailendra yang diutus ke wilayah Pantai Barat dan Barus. Ada yang menyebut, dialah Ratu Jayadana. Dan konon akhirnya, sang putri sempat lari ke Pulau Morsala, sendirian bertarung melawan Raja Janggi, hingga ”habis kaji putus ma’rifat”.

Dalam sebuah buku cerita Parahiangan Bahasa Sunda, yang sudah diselidiki oleh sarjana Pelytes disalin ke bahasa Belanda oleh Prof Dr Purbocoroko; ”di tahun 732 M Raja Senjaya anak Sena melakukan peperangan dengan Bali, Bima, Melayu, Kemir, Keling, Cina dan Barus”.

Di Barus, raja waktu itu adalah Ratu Jayadana, yang bila dikaitkan dengan mitos rakyat Barus, pada ribuan tahun lalu di Barus terdapat satu kerajaan yang dikuasai seorang ratu bergelar ”Putri Runduk”.

Dari ke-dua buku tersebut, penulis (D. Edi Saputra, Red) mencatat adanya persamaan dan perbedaan cerita tentang Putri Runduk itu. Di buku ”Bunga Rampai Tapian Nauli”, dengan jelas disebutkan bahwa Putri Runduk adalah permaisuri (isteri dari Raja Jayadana). Pertanyaannya adalah: Mungkinkah seorang isteri raja dilamar atau dipinang oleh raja-raja dari negeri lain? Atau benarkah raja-raja dari luar itu hanya ingin menguasai Barus yang terkenal sebagai bandar perniagaan rempah, kemenyan dan kapur Barus? Dan kemudian menawan sang putri?

Pada buku Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus Sumatera Utara ditulis ”Putri Runduk Ratu Jayadana?” tidak tertulis Putri Runduk sebagai permaisuri Kerajaan Jayadana (tidak tertulis ada seorang raja bernama Jayadana). Dengan kata lain Putri Runduk adalah seorang Ratu yang berkuasa ketika itu.

Apabila kemudian banyak raja-raja dari luar yang ingin mempersuntingnya, kemungkinan itu disebabkan oleh kecantikan putri yang luar biasa! Namun sang putri menolak semua pinangan raja-raja dari luar itu dengan alasan yang sangat prinsip yakni perbedaan agama, sang putri sudah memeluk agama Islam.!

Hal lain yang pantas dicatat; Bahwa Kerajaan Mataram adalah salahsatu Kerajaan Islam di tanah Jawa. Tidakkah Raja Senjaya telah beragama Islam ketika itu?

Lepas dari seluruh pertanyaan akan kebenaran fakta sejarah itu, cerita legenda juga mewarnai kisah Putri Runduk. Dan seperti umumnya legenda, biasanya selalu diiringi bumbu kata ”boleh percaya boleh tidak !”

Sebagai pengamat, penulis berulangkali telah mendengar kisah Putri Runduk, terutama dari para orang tua yang pada umumnya berkecimpung dalam dunia seni dan budaya pesisir. Seperti nama Alm. Buya Farid Panggabean, Alm. Nuh Kahar (di Pasar Belakang), Alm. Tabrani Marbun (di Pulo Herek Sambas), dan beberapa nama di Kota Baringin dan Aek Habil, yang menceritakan kisah Putri Runduk itu.

Dari alur cerita, penulis sangat terkesan dalam beberapa hal seperti, kekayaan seni dan budaya serta moral cerita yang bernilai tinggi namun belum tergali secara maksimal.

Kelemahan budaya cerita atau bertutur adalah hilangnya memori, kurangnya minat dan pengetahuan para orang tua terdahulu untuk mendokumentasikan cerita dalam bentuk tulisan, mengakibatkan legenda itu hilang akarnya dari ranah bumi yang melahirkan cerita itu sendiri. Pada tahun 70-an, penulis sudah membaca buku tulisan Dada Meuraxa, yang memuat cerita rakyat di Sumatera Utara, termasuk cerita Putri Runduk.

Pada tahun 1993, penulis bersama beberapa seniman dan tokoh masyarakat seperti Angku Raja Jakfar Hutagalung, Tajuddin Nour, Dachlan Yan Jamack (Wakil Ketua Dewan Kesenian Sibolga ketika itu), Indra Effendi (Scorpio), dll. Mencoba menerima tawaran BKKN Tapteng untuk mendokumentasikan Legenda Putri Runduk dalam bentuk Sinetron. Sayang…, dokumentasi itu rusak termakan usia.

Beberapa informasi tambahan cerita yang penulis dapatkan, selain disebut Putri Runduk, konon dia adalah Panglima tentara laut, keturunan kerajaan Syailendra yang diutus ke wilayah Pantai Barat dan Barus, dalam upaya mendapatkan kemenyan dan kapur barus.

Oleh raja Barus diberikan wilayah kepada Putri Runduk di sekitar Barus dan bergelar ”Jayadana”.

Ada pula cerita yang mengatakan, hubungan antara Putri Runduk dengan Panglima Buyung Sorkam!

Namun masyarakat umumnya mengakui adanya hubungan cerita antara Putri Runduk dengan Raja Janggi yang ingin mempersuntingnya. Disebutkan, salahsatu syarat permintaan Putri Runduk yang harus dipenuhi Raja Janggi adalah, mempersatukan Pulau Situngkus agar merapat ke daratan Pulau Sumatera. Konon itulah sebabnya terjadi sempalan atau pecahan Pulau Situngkus sekarang ini.

Dari penelusuran penulis, akhirnya tersebutlah ada 2 panglima Putri Runduk yang sakti, yakni Panglima Bulu Dare dan Panglima Bulu Songsang.

Setelah kedua panglima ini tewas dibunuh oleh Raja Janggi, sang putri lari ke Pulau Morsala. Tinggallah Putri Runduk sendiri menghadapi Raja Janggi. Terjadilah pertarungan tenaga batin, sampai ”habis kaji putus ma’rifat”. Raja Janggi disumpah ”menjadi batu”, Sang Putri terjun ke laut, hilang raib tak berbekas!

Dan, peralatan serta perbekalan yang cerai-berai hanyut mengapung di tengah laut, menjelma menjadi pulau-pulau yang kita kenal sekarang di teluk tapian nauli.

Demikian pula pantun pesisir yang menceritakan tentang Putri Runduk dan Raja Janggi, dan Dayang Sikambang yang disebut sebagai inang pengasuh, dayang dan penari.

Inilah cerita yang dimiliki oleh masyarakat pesisir barat Sumatera Utara pada umumnya, Tapanuli Tengah dan Sibolga khususnya.

Akhir kata, seiring waktu, diharapkan akan semakin tergali informasi, data, dan sumber yang lebih akurat tentang sosok seorang Putri Runduk.

Seni dan budaya adalah bahasa yang universal, maka dalam upaya pelestariannya siapa saja boleh melakukannya, sebelum warisan senibudaya itu hilang tak berbekas.

Ibarat mengangkat batang terendam, diperlukan kesungguhan baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, peneliti dan instansi terkait untuk melakukan penelusuran yang lebih mendalam, kemudian mendokumentasikannya, agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak seni dan budaya leluhurnya. (Habis/Penulis adalah Pensiunan RRI Sibolga- pengamat dan pemerhati masalah seni dan budaya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar